Opini - Erich Fromm di dalam The Anatomy of Human Destructiveness menjelaskan, ketika teknologi pertanian dan perternakan belum ditemukan, manusia purba zaman Paleolitikum menjalani hidupnya secara nomaden, alias berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain.
Cara mereka bertahan hidup adalah dengan berburu, di mana kegiatan tersebut umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki, sedangkan para perempuan yang menunggu hasil buruan mereka mencari berbagai macam jenis tumbuh-tumbuhan di area sekitar sebagai pelengkap hidangan mereka nanti.
Dari kegiatan para perempuan inilah akhirnya manusia purba mengenal budaya meramu, kemudian berkembang menjadi budaya menanam.
Dan hasil dari kegiatan menanam itu akhirnya mereka memiliki teknik penyimpanan bahan makanan, kemudian berubahlah era nomaden menajdi era semi-sedenter yang disebut sebagai zaman Mesolitikum atau era manusia purba yang menetap sementara di dalam gua.
Hingga teknologi yang mereka miliki semakin canggih, yakni budaya bercocok tanam sampai ditemukannya konsep memilihara hewan ternak, yang membuat kaum laki-laki tidak perlu berburu lagi, dan karenanya mereka memutuskan menetap di suatu daerah tertentu—era semi-sedenter berubah menjadi era sedenter dengan sebutan Neolitikum.
Atas pemikiran inilah akhirnya kita mengenal adaigum Jawa yang berbunyi ibu bumi bapa angkasa, merujuk pada tugas-pokok dan fungsi para laki-laki yang harus berburu di tempat yang jauh dari tempat tinggal kelompok mereka serta konsep agrikultur yang ditemukan oleh kaum perempuan.
Maka tidak terlalu mengherankan jika di kemudian hari, sosok perempuan, Dewi Sri, dijadikan sebagai simbol kesuburan.
Jadi, menetapnya satu kelompok manusia di dalam suatu daerah tertentu pada akhirnya memunculkan gagasan tentang pemimpin dalam artian yang sangat tradisional yakni kepala suku yang bersifat primus inter pares atau “yang dituakan”.
Gejala ini terjadi karena batas teritorial belum dikenal sehingga, suku lain bisa saja menjadi ancaman untuk suku lainnya. Tentu kriteria kepala suku yang dipilih harus memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dan, kelebihan yang dimaksud di sini memiliki arti yang berbeda-beda menurut masing-masing suku.
Misalnya, suku tertentu yang bertempat tinggal di daerah yang cukup rawan—entah rawan dari ancaman binatang buas atau serangan dari suku lain—membutuhkan sosok pemimpin yang kuat secara fisik yang direpresentasikan dalam diri laki-laki.
Baca juga:
Republik Bunglon di Negeri Manusia
|
Tapi ada juga suku tertentu yang membutuhkan sentuhan perempuan kemudian membudayakan sistem matriarki seperti suku Mosuo di Cina, suku Iroquois di Amerika, dan lain-lain yang tidak menutup kemungkinan hal serupa juga ada di Nusantara.
Ketika peradaban berkelompok yang hidup menetap sudah terbentuk di mana-mana dan suku-suku semakin berkembang secara jumlah, beberapa di antara mereka memutuskan bergabung dalam satu kepemimpinan agar dapat berbagi sumberdaya untuk kepentingan masyarakat suku tersebut.
Yang di kemudian hari pola ini mengkristal menjadi sistem monarki atau kekuasaan politik yang dikendalikan oleh seorang raja. Dan, sebagaimana seorang kepala suku, jabatan raja juga disandang oleh perempuan.
Di Nusantara sendiri kita mengenal Ratu Shima, seorang raja perempuan yang memimpin kerajaan Kalingga pada 674 M yang terletak di pantai utara Jawa Tengah. Menurut W.P. Groeneveldt di dalam Sejarah Lama Dinasti Tang dan Sejarah Baru Dinasti Tang, Kalingga dikenal dengan sebutan Ho-Ling atau Ke-ling yakni sebuah kerajaan kaya, kuat dan terorganisasi dengan baik yang ada di pulau Cho-po (Jowo).
Selain itu, di dalam catatan tersebut juga dijelaskan, Ho-Ling adalah negeri yang telah mengenal aksara dan menjadi pusat pendidikan agama Budha. Ini adalah legacy atau warisan yang ditinggalkan Ratu Shima ketika memimpin Kalingga yang dicatat oleh sekutunya dari Tiongkok.
Berikutnya kita mengenal Tribhuwana Tunggadewi, yakni raja ketiga yang memimpin Majapahit dari 1328 sampai 1351. Pada masa kepemimpinannyalah misi menyatukan Nusantara di bawah Majapahit dicetuskan untuk kali pertama hingga Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa dan berhasil menaklukkan beberapa daerah besar dan berpengaruh, salah dua di antaranya adalah Sumatra dan Bali.
Lalu ada Dyah Suhita, perempuan muda yang menjabat sebagai raja Majapahit ketujuh setelah perang Paregreg, yaitu perang saudara yang terjadi pada tahun 1404 sampai 1406 antara orang-orang Barat Majapahit yang dipimpin oleh Wikramawardhana dan orang-orang Timur Majapahit yang dipimpin oleh Bhre Wirabhumi.
Bukan perkara mudah memimpin sebuah wilayah dengan kekuasaan yang cukup besar pasca perang. Kehancuran yang terjadi di mana-mana, trauma, pembelahan, bencana kelaparan, dan wabah penyakit—di bawah kepemimpinan Dyah Suhita, semua elemen berhasil dipersatukan kembali, semua masalah diatasi, dan proyek pembangunan digalakkan—terutama candi dan punden berundak.
Selanjutnya kita akan bertemu dengan Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono, seorang raja perempuan Jepara sekaligus pejuang kolonisasi Portugis. Letak kerajaannya yang berlandskap maritim, mengilhaminya untuk membangun kapal-kapal berukuran besar hingga membuat gentar musuh-musuhnya dan mendapat julukan Rainha da Japara.
Selain itu, secara internal, kemampuan Ratu Kalinyamat menurut historiografi tradisional Jawa merupakan sosok yang menyelesaikan konflik yang terjadi di lingkungan keluarga Kerajaan Demak yang terjadi karena perebutan kekuasaan oleh Arya Penangsang yang membunuh Pengeran Hadiri dan Sunan Prawata.
Tentu masih banyak sosok pemimpin perempuan di negeri ini seperti Ratu Sinuhun di Palembang, Dayang Lela di Kalimantan Barat; di Sulawesi Selatan ada Daeng Pasuli di daerah Sawito, pada di daerah Palita, Adi Matanang di daerah Rapang, Siti Aisyah di Barru, dan I Madina Daeng Bau dari Lakiang.
Sedangkan di Ternate kita akan bertemu pemimpin perempuan yang bernama We Tantri Ole. Belum lagi kita membicarakan Sumatra, ada Ratu Nur Ilah dan Ratu Nahrasyiah dari kerajaan Samudra Pasai. Di Aceh apalagi, kita akan menemukan nama-nama besar para pemimpin perempuan yang perkasa, dari Laksamana Keumalahayati sampai Cut Nyak Dien.
Artinya, di dalam catatannya, sejarah pernah memiliki seorang pemimpin perempuan yang mumpuni dengan segala warisan yang ditinggalkannya. Dan saya rasa, sejarah akan terus berulang untuk memproduksi pemimpin hebat di masanya.
Tinggal bagaimana pemimpin kita hari ini, dengan kekuasaan yang dia miliki, akan meninggalkan legacy apa yang membuat namanya dikenang oleh anak-cucunya nanti. Akankah dia meniru nama-nama besar tadi, atau dia ingin mengukir sejarahnya sendiri.
Terakhir, ada satu nama lagi yang hampir lupa saya sebutkan. Dia adalah Dyah Tulodong, raja perempuan dari Mataram Kuno yang pernah mengalahkan seorang petahana yang bernama Airlangga dari Kahuripan. Tapi, pada pertemuran yang kedua, Dyah Tulodong kalah telak.
Maka seperti yang saya sebutkan tadi bahwa sejarah akan terus berulang, nasihat saya untuk Njenengan—jangan terlalu banyak ngonten Youtube. Kerja! Temui rakyatmu, hirup araoma keringatnya, dengarkan keluahannya, dan kau akan tahu bagaimana nasibnya hari ini ketika mulutnya bercerita tapi matanya bergetar-getar kaca.
Oleh: Fajar SH
Pegiat Literasi Blitar dan Ketua Bidang Komunikasi Publik PPI (Perhimpunan Pergerakan Indonesia) Pincab Kabupaten Blitar.